KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HALU OLEO
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
PENGEMBANGAN WILAYAH
“PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH PERTAMBANGAN YANG
BERKELANJUTAN”
AGUS PANJI VERDHA
F1B2
13 003
KENDARI
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Wilayah pada
pertambangan biasa disebut WP yang dimana adalah wilayah yang memiliki potensi
mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Pembangunan berkelanjutan atau dalam
bahasa Inggris dikenal dengan sustainable development pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1972 pada Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm, Swedia. Pada konferensi
tersebut, dunia menyadari sepenuhnya bahwa perkembangan pesat populasi manusia
harus bertahan dalam keterbatasan sumberdaya. Tanpa ada pengelolaan yang baik,
sumberdaya seperti makanan, energi dan air dapat habis, yang pada akhirnya akan
mengarah ke krisis global. Pelaksanaan konferensi ini telah memicu pembentukan
lembaga-lembaga perlindungan lingkungan, dan yang terpenting adalah terlibatnya
para politisi, institusi pemerintah dan organisasi-organisasi internasional
sebagai kekuatan di belakang pergerakan tersebut. Selanjutnya, International
Union for the Conservation of Natural Resources (IUCN) menerbitkan Strategi
Konservasi Dunia (World Conservation Strategy/WCS) pada tahun 1980 yang
merupakan cikal bakal konsep pembangunan berkelanjutan.
Pada tahun 1983, World Commission on
Environment and Development (WCED) berdiri, dan setahun kemudian disahkan
menjadi badan independen oleh Majelis Umum PBB dengan tugas merumuskan Agenda
Global untuk Perubahan (A global agenda for change). Melalui laporannya “our
common future” atau lebih dikenal dengan Laporan Brundtland (Brundtland Report)
yang dirilis tahun 1987, WCED merumuskan defenisi pembangunan berkelanjutan
sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri"
(development which meets the needs of the present without compromising the
ability of future generations to meet their own needs). Definisi ini kemudian
dikenal sebagai definisi klasik yang diterima secara luas oleh dunia. Melalui
laporan ini juga, WCED menegaskan bahwa lingkungan dan pembangunan adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain: lingkungan adalah tempat di
mana kita semua hidup; dan pembangunan adalah apa yang kita semua lakukan dalam
upaya untuk memperbaiki nasib kita di dalam tempat tinggal kita itu.
Konferensi internasional pertama yang
mengusung tema pembangunan berkelanjutan digelar oleh PBB di Rio de Janeiro,
Brazil pada Juni 1992 tentang Ekonomi dan Pembangunan/UN Conference on
Environment and Development (UNCED). Secara spesifik, konferensi ini mengadopsi
agenda lingkungan dan pembangunan di abad ke-21 atau yang dikenal dengan nama
Agenda 21. Agenda 21 merupakan sebuah program aksi untuk pembangunan
berkelanjutan yang berisi Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan.
Deklarasi ini secara tegas mengakui hak setiap bangsa untuk mengejar kemajuan
sosial dan ekonomi dan memberi tanggung jawab kepada negara-negara untuk
mengadopsi model pembangunan berkelanjutan. UNCED untuk pertama kalinya
memobilisasi Kelompok-kelompok Utama (Major Groups) dan melegitimasi
partisipasi mereka dalam proses pembangunan berkelanjutan. Para pemimpin negara
di dunia kemudian secara tegas dan luas mengakui pentingnya perubahan mendasar
dalam pola-pola konsumsi dan produksi dalam upaya pencapaian pembangunan
berkelanjutan. Agenda 21 lebih lanjut menegaskan bahwa pembangunan
berkelanjutan melingkupi integrasi pilar-pilar ekonomi, sosial dan lingkungan.
Sepuluh tahun setelah Deklarasi Rio, the World Summit on Sustainable
Development (WSSD) diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan untuk
memperbaharui komitment global terhadap pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan
konferensi dituangkan dalam Johannesburg Plan of Implementation (JPOI), serta
menugaskan Commission on Sustainable Development (CSD) untuk menindaklanjuti
penerapan pembangunan berkelanjutan.
Perkembangan pembangunan berkelanjutan
kontemporer ditandai oleh pelaksanaan United Nations Conference on Sustainable
Development (UNCSD) atau yang dikenal dengan Rio+20 sebagai konferensi
internasional ketiga. Sesuai namanya, Rio+20 dilaksanakan di Rio de Janeiro
pada tahun 2012, dan memiliki tiga tujuan yaitu mengamankan pembaruan komitmen
politik untuk pembangunan berkelanjutan, menilai kemajuan dan kesenjangan
implementasi dalam memehuni komitmen sebelumnya, serta membahas
tantangan-tantangan baru yang muncul dalam implementasi pembangunan
berkelanjutan. Secara umum, hasil-hasil pertemuan Rio+20 dituangkan dalam
sebuah dokumen yang diberi judul “The Future We Want” yang diantaranya berisi
tentang pengakuan bahwa perubahan mendasar terhadap pola konsumsi dan produksi
masyarakat sangat diperlukan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global.
Pembangunan secara global menyangkut
sumberdaya yang dimana semua potensi dan lingkungan yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Jumlah semua komponen material dan lingkungan yang
meliputi massa dan energi, benda biologis dan non biologis dapat ditetapkan
sebagai keseluruhan persediaan (Sumaatmadja,
1988). Salah satu sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan manusia
adalah bahan galian seperti pasir. Bahan galian ini sangat diperlukan untuk
pembangunan sarana fisik seperti gedung, jembatan jalan dan pembangunan, serta
kegiatan industri. Setiap pembanguna fisik berkonstruksi berat pasti memerlukan
material pasir. Kualitas pasir yang berasal dari kawasan Pantai Selatan Jawa
Barat dikenal secara luas sebagai pasir dan batu berkualitas tinggi terutama
untuk pembangunan fisk di Jawa Barat dan sekitarnya.
Usaha penambangan merupakan usaha
melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, produksi, dan penjualan. Menurut
Rahmi (1995), penggolongan bahan-bahan galian adalah sebagai berikut :
1. Golongan
a, merupakan bahan galian strategis, yaitu strategis untuk perekonomian Negara
serta pertahanan dan keamanan Negara
2. Golongan
b, merupakan bahan galian vital, yaitu dapat menjamin hajat hidup orang banyak,
Contohnya besi, tembaga, emas, perak dan lain-lain
3. Golongan
c, bukan merupakan bahan galian strategis ataupun vital, karena sifatnya tidak
langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional. Contohnya marmer, batu
kapur, tanah liat, pasir, yang sepanjang tidak mengandung unsur mineral.
Faktor
manusia dalam proses penambangan yang tidak memperhatikan lingkungan tentu akan
membawa dampak kerusakan lingkungan baik pada faktor sosial dan budaya, faktor
fisik maupun faktor biotiknya. Faktor sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi
tingkat dampak kegiatan penambangan pasir, diantaranya tingkat sosial
masyarakat, tingkat pendapatan, pendidikan, pekerjaan serta persepsi
masyarakat. Dampak sosial budaya penambangan terhadap wilayah di sekitar areal
penambangan, umumnya terletak pada permasalahan yang sama yaitu jalur lintasan
penambangan yang harus melewati tanah dengan kepemilikan pribadi (private
property), bangunan jalan sebagai sarana transportasi menjadi rusak, hasil
pemasaran bahan tambang hanya sedikit yang sampai kepada masyarakat lokal,
sehingga kurang mengangkat pertumbuhan ekonomi daerah sekitar lokasi
penambangan.
Dampak
terhadap faktor fisik yang mungkin terjadi adalah mempengaruhi tingkat kualitas
air, kebisingan dan debu, sedangkan dampak terhadap faktor biotik akibat
penambangan adalah menyebabkan terganggunya keberadaan jenis tumbuhan maupun
hewan yang ada, misalnya berpindah tempat atau berkurangnya pohon,
rumput-rumputan, ikan, ular dan sebagainya.
Permasalahan
sosial masyarakat akibat adanya kegiatan penambangan pasir merupakan suatu
fenomena sosial yang terjadi terus menerus. Fenomena ini menyangkut kepentingan
masyarakat luas dan dampaknya mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat terutama
yang berada di sekitar wilayah areal penambangan pasir.Lingkungan sosial
masyarakat sangat kompleks, sehingga menimbulkan berbagai macam permasalahan
sosial dan berpengaruh terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat.
Adapun latar belakang sehingga permasalahan tersebut timbul diantaranya adalah
sebagai berikut.
1.
Penambangan pasir di wilayah Pantai
Selatan Jawa Barat mendapatkan persesi dari masyarakat dapat menimbulkan kerusakan
lingkungan.
2.
Penambangan pasir dapat memberikan
PAD bagi Pemerintah Daerah.
3.
Penambangan pasir jadi mata
pencaharian sebagian masyarakat yang dapat menambah penghasilan
4.
Sering terjadi konflik sosial antara
pemerintah, organisasi-organisasi sosial yang perduli lingkungan, masyarakat
dan investor penambangan pasir.
1.2
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam
makalah ini berkaitan dengan kebijakan pengelolaan pembangunan berkelanjutan
didalam pertambangan. Untuk memudahkan dan mengarahkan pembahasan dalam makalah
ini maka diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsep pengembangan
berkelanjutan?
2.
Apa saja strategi pengembangan
wilayah pertambangan berkelanjutan?
3.
Apa tujuan kegiatan pengembangan
pertambangan yang berkelanjutan?
4.
Apa yang diperlukan dalam kegiatan
pertambangan yang berkelanjutan?
5. Apa saja kebijakan pemerintah dalam
pengelolaan kegiatan usaha
penambangan dan implementasinya?
6. Bagaimana Kondisi pengelolaan yang diharapkan
serta upaya untuk
Mencapainya?
7. Bagaimana dampak dari kegiatan usaha
penambangan?
1.3
Tujuan
Penulisan
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
tentang kebijakan pengelolaan pembangunan
berkelanjutan didalam pertambangan. Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Memberikan gambaran mengenai kebijakan
pengelolaan pembangunan berkelanjutan didalam pertambangan.
2.
Mengkaji kebijakan pemerintah
dalam pengelolaan kegiatan usaha penambangan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
konsep
pengembangan berkelanjutan
Menerapkan konsep
pengembangan berkelanjutan, umumnya sangat berkaitan erat pada kegiatan yang
sifatnya berciri-ciri pembangunan berkelanjutan. Dalam prakteknya, kegiatan
pengembangan secara alami sudah pasti memajukan tempat atau daerah pertambangan
tersebut, dengan cara membuat membagun tempat-tempat yang memungkinkan akan di
datangi oleh banyak orang. ( misalnya membuat sebuah hotel pada daerah tersebut
yang dimana daerah pertambangan itu sudah tidak digunakan, sehingga dibuatlah
sebuah hotel).
Konsep
berkelanjutan pada kegiatan pertambangan yang pasti suatu saat akan terjdi
karena sumberdaya pada penambangan yang tidak dapat diperbaharui. Hal yang
sudah umum diketahui bahwa cadangan, baik mineral dan batubara, betapapun
banyaknya, suatu saat akan habis ditambang mengingat sifatnya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources). Bahkan umur proyek yang tidak lebih
dari 10 tahun sering ditemui pada tambang-tambang skala menengah dan kecil
dengan volume cadangan yang sangat terbatas.
kelanjutan lingkungan, adalah tujuan secara
fisik, kualitas lingkungan, dan ketersediaan sumberdaya alam. Kelanjutan
ekonomi ditekankan pada pengelolaan lingkungan alam unuk mendukung kelanjutan
hidup dan keindahan, seperti udara dan air, sumberdaya energi dan sumberdaya
mineral untuk ekonomi manusia. Selain itu juga ditekankan pada kepercayaan
bahwasanya lingkungan alam adalah unuk kepentingan mereka, tiap tiap orang
menggunakan lingkungan alam untuk aktivitas mereka.
kelanjutan ekonomi, ditekankan pada
perkembangan yang berkelanjuan pada standar kehidupan manusia dan keadaan
manusia yang lebih baik. Yang ketiga adalah kelanjutan sosial dan budaya, yang
ditekankan pada hukum sosial. bentuk ini difokuskan pada keadilan dan
pemerataan.
Tema
berkelanjutan dalam industri pertambangan merupakan turunan dari konsep
pembangunan berkelanjutan yang secara kontemporer terus dikampanyekan di
berbagai sektor. Khusus pada bidang pertambangan, konsep berkelanjutan memiliki
posisi yang unik karena barang tambang bukanlah sumberdaya yang dapat
diperbaharui. Sekali cadangan habis ditambang, maka selesailah kegiatan
pertambangan tersebut. Tidak peduli betapa menguntungkan ia pada awalnya dan
betapa banyak orang yang menggantungkan hidup darinya, tambang harus tetap
ditutup. Sekali berarti, sesudah itu mati.
Industri
pertambangan menyadari sepenuhnya bahwa masa depan sektor ini sangat ditentukan
oleh pencapaian pembangunan berkelanjutan mereka sendiri. Oleh karena itu,
setiap aktifitas pertambangan harus memenuhi harapan sosial (social
expectations) dan harus berbagi tanggung jawab dengan pemerintah dan para
pemangku kepentingan. Hal yang sangat penting adalah proses ini harus mulai dilakukan
sejak masa-masa awal kegiatan pertambangan, bahkan sejak pembangunan tambang
mulai direncanakan. Dengan cara ini, pihak perusahaan akan memenangkan izin
sosial untuk beroperasi dari masyarakat.
International
Institute for Sustainable Development (IISD) dan World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD), melalui laporan final proyek Mining, Mineral
and Sustainable Development (MMSD) yang dirilis tahun 2002, merancang sebuah
kerangka kerja pembangunan berkelanjutan pada sektor mineral. Dalam laporan
tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud penerapan konsep pembangunan
berkelanjutan pada industri pertambangan bukanlah upaya membuat satu tambang
baru untuk mengganti tambang lain yang sudah ditutup, tetapi melihat sektor
pertambangan secara keseluruhan dalam memberikan kontribusi pada kesejahteraan
manusia saat ini tanpa mengurangi potensi bagi generasi mendatang untuk
melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, pendekatan pertambangan berkelanjutan
harus komperhensif dan berwawasan ke depan. Komperhensif yang dimaksud adalah
menimbang secara keseluruhan sistem pertambangan mulai dari tahap eksplorasi
hingga penutupan tambang, termasuk distribusi produk dan hasil-hasil tambang,
sedangkan berwawasan ke depan adalah menetapkan tujuan-tujuan jangka pendek dan
jangka panjang secara konsisten dan bersama-sama.
Selanjutnya,
JPOI mengindentifikasi tiga bidang prioritas untuk memaksimalkan potensi
keberlanjutan di sektor pertambangan, yaitu:
1. Menganalisa dampak dan keuntungan
sosial, kesehatan, ekonomi dan lingkungan sepanjang siklus kegiatan
pertambangan, termasuk kesehatan dan keselamatan pekerja;
2. Meningkatkan partisipasi para pemangku
kepentingan, termasuk masyarakat adat dan lokal serta kaum perempuan;
3. Menumbuhkan praktek-praktek
pertambangan berkelanjutan melalui penyediaan dukungan teknis, pembangunan
kapasitas dan keuangan, kepada negara berkembang dan miskin.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa konsep keberlanjutan dalam pertambangan tidak
berarti kegiatan tersebut harus dilakukan terus menerus, begitu pula jika
diasumsikan secara sederhana dengan membuat tambang baru untuk melanjutkan
tambang lain yang sudah ditutup. Konsep keberlanjutan dalam industri ini
diarahkan pada upaya untuk memaksimalkan manfaat pembangunan pertambangan dan
pada saat yang sama mampu meningkatkan keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Artinya, konsep keberlanjutan pada sektor ekstraksi mineral dan batubara
ditekankan pada optimalisasi dampak-dampak positif yang ditimbulkan dari
kegiatan tersebut dengan menitikberatkan pada akulturasi pilar-pilar ekonomi,
sosial dan lingkungan (the triple bottom-line).
Meski
begitu, dalam kenyataannya implementasi praktek-praktek pertambangan
berkelanjutan tetap harus dilihat secara utuh dan terintegrasi. Australian
Centre for Sustainable Mining Practices berpendapat bahwa konsep the triple
bottom-line gagal mempertimbangkan dua unsur teknis yang sangat penting dan
tidak terpisahkan dalam operasi pertambangan berkelanjutan, yang pertama
keselamatan (safety) dan yang kedua efisiensi sumberdaya (resource efficiency)
atau efisiensi (ACSMP, 2011) (Gambar 2). Integrasi dua area penting ini
merupakan masukan berharga dan dapat dianggap sebagai pengembangan dari konsep
yang telah dibangun oleh MMSD.
Demikian,
selain berkewajiban mengamankan pasokan material dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pertumbuhan di masa depan, kegiatan pertambangan juga harus dilakukan
secara ekonomis, ramah lingkungan, bertanggung jawab secara sosial dan dengan
cara-cara yang aman dan efisien. Oleh karena itu, pengembangan prinsip
pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan adalah misi yang sangat penting,
saat ini dan di masa yang akan datang.
2.2 Strategi Pengembangan wilayah
pertambangan berkelanjutan
Pada dasarnya persoalan
kegiatan masyarakat yang menambang dapat diatasi dengan dua strategi, yakni: (1)
dengan menempatkan dan membina masyarakat penambang untuk
melaksanakan aktivitas pertambangan tersebut dalam sebuah Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR); (2) atau menjadikan mereka sebagai mitra
tidak sederajat dengan perusahaan pertambangan yang memiliki konsesi tempat
mereka menambang. Kedua strategi tersebut dapat
direalisasikan sepanjang pemerintah memiliki keinginan atau komitmen, kesiapan
dan kemampuan dalam melaksanakannya.
2.2.1
Menempatkan dan membina masyarakat penambang dalam
WPR
Seperti yang
tercantum dalam UU No.4 tahun 2009, bahwa kegiatan masyarakat yang menambang
itu hanya dapat dilakukan secara legal dalam bentuk suatu kegiatan PR di
suatu Wilayah Pertambangan Rakyat
(WPR). Dalam konteks ini, tahapan
untukmenempatkan dan membina masyarakat agar dapat
melaksanakan kegiatan penambangannya
dengan baik, benar,
efektif, efisien dan berwawasan
lingkungan, dapat
dilakukan dalam skenario tiga tahapan besar, yakni:
A. Tahapan Penentuan dan Penetapan Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR);
B. Tahapan Pengelolaan Kegiatan
Pertambangan Rakyat (PR) dan
C. Tahapan Pengelolaan Lingkungan.
Pada tahapan
penentuan dan penetapan WPR, strategi tersebut akan mencakup tiga aspek
penting, yakni aspek kebijakan, mekanisme dan kelembagaan. Hal ini disebabkan
karena dalam penentuan dan penetapan WPR diperlukan kesamaan cara pandang dan
kerjasama yang saling mendukung diantara komponen pimpinan daerah sehingga
WPR dapat menjadi solusi persoalan masyarakat yang menambang di wilayah
tersebut. Tahapan ini juga merupakan tahapan yang paling
penting, karena bila WPR yang sudah
ditetapkan tersebut
tidak memiliki cadangan komoditi tambang yang memadai dan tidak diketahui secara
jelas
keberadaannya, maka bisa dipastikan para penambang
tersebut akan pergi meninggalkan wilayah
itu dan
mencari serta menambang di wilayah baru
secara illegal.
Akibatnya,
penetapan WPR tersebut akan menjadi sia-sia dan hanya memboroskan sumber daya,
sementara kerusakan
dan pencemaran lingkungan akan terus berlanjut. Sementara itu, tahapan
pengelolaan kegiatan PR akan fokus pada teknik penggalian, ekstraksi dan
pengelolaan limbah, sedangkan tahapan
pemulihan dan pengelolaan lingkungan akan dititik-beratkan pada aspek kebijakan serta
konsep pemulihan dan pengelolaan lingkungan.
Secara
khronologis, strategi ini memang diawali dengan tahapan penentuan dan
penetapan WPR dan kemudian diikuti dengan tahapan pengelolaan kegiatan PR.
Sementara itu, tahapan pemulihan dan pengelolaan lingkungan tidak mesti dilaksanakan
setelah tahapan
pengelolaan kegiatan PR, tetapi dapat saja dilakukan secara bersamaan dengan tahapan
kedua tersebut,
sepanjang terdapat hal-hal yang harus dilaksanakan secara bersama-sama sebagai
suatu system yang saling terkait, mengingat kegiatan PR tersebut tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pengelolaan lingkungan.
2.2.2 Masyarakat sebagai mitra perusahaan tidak
sederajat
Strategi kedua
yang dapat diterapkan dalam mewadahi kegiatan masyarakat yang menambang adalah
dengan membangun kemitraan tidak sederajat antara masyarakat penambang dengan
perusahaan penambangan yang memiliki konsesi di suatu wilayah, terutama di
lokasi tempat masyarakat
sudah menambang jauh sebelum perusahaan tersebut beroperasi di wilayah
tersebut. Disebut sebagai kemitraan tidak sederajat karena kehadiran masyarakat
yang menambang di wilayah tersebut hanya dimungkinkan bila perusahaan berkenan
menerima kegiatan mereka di dalam wilayah konsesi perusahaan. Dalam kasus ini,
perusahaan dapat mengalokasikan wilayah konsesi mereka yang memiliki potensi
cadangan terbatas untuk masyarakat
karena wilayah tersebut tidak ekonomis bila ditambang dalam
skala perusahaan. Hasil penambangan masyarakat tersebut haruslah dijual kepada
pihak perusahaan dan agar proses reklamasinya nanti tidak menyulitkan
perusahaan, maka kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat haruslah
mengikuti disain yang sudah dibuat oleh perusahaan. Dengan demikian akan
terjalin suatu kemitraan yang saling menguntungkan antara perusahaan dan
masyarakat serta sekaligus akan dapat menghindarkan perusahaan dari potensi
konflik dengan masyarakat, terutama dari konflik akibat kegiatan penambangan
illegal masyarakat.
Harus diakui
bahwa kemitraan tidak sederajat ini masih sulit untuk direalisasikan pada
perusahaan multinasional karena ketidaksiapan mereka dalam bekerjasama dengan masyarakat
lokal.
2.3
Tujuan
Kegiatan Pengembangan Pertambangan Yang Berkelanjutan
Tujuan dari kegiatan Pengembangan pertambangan yang berkelanjutan
bertujuan untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua pemangku
kepentingan dan mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan kepercayaan dari
masyarakat di sekitar daerah pertambangan.
Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam
rangka pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Salah
dua tujuan usaha pertambangan yakni, mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan
nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan
internasional. Dan, agar memberi jamiman terhadap pemanfaatan pertambangan
mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup.
2.4
Hal-Hal Yang Diperlukan
Dalam Kegiatan Pertambangan Yang Berkelanjutan
Yang diperlukan adalah komitmen perusahaan
terhadap nilai-nilai berkelanjutan. Selain itu, struktur organisasi sistem
manajemen yang memadai juga diperlukan. Manajemen yang berkelanjutan juga
bergantung pada perilaku etis individu serta kepercayaan untuk mendorong
partisipasi dan komitmen dari pihak terkait. Hal ini memungkinkan pengambilang
keputusan yang tepat dan mendorong individu untuk mengambil risiko dalam setiap
perbaikan yang dilakukan. Oleh karena itu, manajemen tambang yang berkelanjutan
merupakan tantangan utama. Manajemen berkelanjutan menawarkan berbagai manfaat
potensial sebagai berikut:
a. Reputasi perusahaan meningkat dengan risiko
kerugian rendah.
b. Efisiensi operasional yang lebih tinggi
dengan pengelolaan keselamatan dan kesehatan, penggunaan energi, sumber daya,
dan proses produksi yang berkelanjutan.
c. Perencanaan dan pengendalian dari pelaksanaan
sistem manajemen dan filsofi perbaikan terus-menerus berkaitan dengan
pengelolaan yang berkelanjutan dapat ditingkatkan.
d. Akses terhadap sumber daya mineral lebih
mudah sehingga biaya untuk memperolehnya lebih rendah dan tingkat kegagalannya
berkurang.
e. Perekrutan dan pemberdayaan sumber daya
manusia lebih mudah sehingga kepemimpinan, motivasi, inisiatif, dan pengmbilan
kebijakan dilaksanakan secara bertanggung jawab.
f. Proyek pembiayaan lebih mudah dan ekonomis.
g. Biaya pengembangan proyek lebih rendah dengan
bantuan dari pihak-pihak terkait sehingga proses perizinan lebih cepat.
2.5
Kebijakan
Pemerintah Dalam Pengelolaan Kegiatan Usaha Penambangan Dan Implementasinya
Ada beberapa hal penting
yang menjadi perhatian dalam pengelolaan sumber daya alam pada periode
reformasi (GBHN 1999-2004). Pertama adalah peningkatan pemanfaatan potensi
sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi
dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Kedua, pendelegasian wewenang secara bertahap dari Pemerintah (Pusat) kepada
Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara
selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap
terjaga. Ketiga, pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan
budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang. Semuanya ini merupakan paradigma
baru didalam menentukan kebijakan konservasi bahan galian sebagai bagian dari
pengelolaan sumber daya mineral.
Oleh karena itu setiap
kebijakan konservasi bahan galian diarahkan kepada pembangunan untuk keadilan dan kesejahteraan
rakyat, dan desentralisasi atau dekonsentrasi pengelolaan sumber daya mineral
dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah, serta optimalisasi manfaat dan minimalisasi
dampak lingkungan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.Secara
dikotomis, pengelolaan sumber daya mineral selalu dihadapkan pada dua kepentingan besar, yaitu usaha
peningkatan produksi (atau konsumsi) bahan galian dan usaha proteksi (atau
pelestarian) lingkungan hidup. Pada satu sisi, pemanfaatan bahan galian adalah
langkah positif yang tak terhindarkan untuk mencukupi kebutuhan komoditi
mineral yang selalu mendorong upaya eksploitasi bahan galian semaksimal
mungkin. Pada sisi lainnya, kegiatan pertambangan dapat dikatakan sebagai
penggunaan teknologi yang membawa dampak kerusakan lingkungan. Hal ini menjadi
bahan perdebatan yang tak kunjung selesai. Semangat liberalisasi dunia industri
mineral mendorong pengusaha terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi bahan
tambang seraya menolak upaya proteksi lahan. Sebaliknya kepentingan lain yang
mengatasnamakan perlindungan lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia
mendorong kelompok swadaya masyarakat dan pengelola lingkungan hidup terus memperjuangkan kampanye anti
pertambangan. Konservasi Bahan Galian
(KBG) pada hakekatnya adalah upaya
perlindungan, perbaikan dan penggunaan bahan galian secara bijaksana yang dapat
memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang tinggi, menjaga
kelestarian fungsi lingkungan, serta menjamin kesinambungan pembangunan
bagi masyarakat.
Oleh karena itu, KBG
diharapkan mampu menjadi titik tengah yang bersifat menjaga keseimbangan
(equalizer) dan menjadi jembatan kedua kepentingan tersebut. Untuk mendukung pelaksanaan KBG berdasarkan
paradigma, program dan strategi yang tepat,
maka diperlukan penyusunan kebijakan KBG dan mensosialisasikannya secara
nasional. Penyusunan regulasi ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi dalam
pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan umum baik untuk jangka pendek maupun
jangka panjang dengan penyediaan peraturan dan kebijakan dengan tujuan untuk
meningkatkan pembangunan sektor pertambangan umum yang berlandaskan hukum dan
kaidah konservasi.
Berdasarkan
kenyataan dan permasalahan di atas, perlu adanya kebijakan dalam pengelolaan
dan perlindungan bahan tambang pasir. Untuk itu telah terbit kebijakan
pemerintah yaitu Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Mineral. Kebijakan umum Pengelolaan
sumber daya mineral memiliki beberapa landasan hukum antara lain: UUD 1945,
khususnya Pasal 33 ayat 3, UU. No. 4 /
1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup, UU. No. 23 / 1997 tentang lingkungan hidup,
UU No. 22 / 1999 tentang pemerintahan daerah,
UU No. 25 / 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. PP No. 20 / 1990 tentang pengendalian pencemaran air, Keputusan Menteri No.1261/K/25/MPE/ 1999
tentang pengawasan produksi pertambangan umum,
Keputusan Menteri No.1453/K/29/ MEM/2000 tentang pedoman pengawasan
konservasi bahan galian pertambangan umum, Keputusan Menteri No. 51/1995 tentang
AMDAL, PP No. 25 / 2000, tentang
kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom.
Kebijakan KBG dalam
perspektif pengelolaan sumber daya mineral harus selaras dengan misi
pembangunan sektor pertambangan di Indonesia. Paling tidak ada dua hal penting
yang harus menjadi perhatian utama dalam penyusunan kebijakan konservasi ini.
Pertama, pemanfaatan sumber daya dan cadangan bahan galian secara optimal,
bijaksana, berwawasan lingkungan dan memberi dampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat. Kedua, pemanfaatan sumber daya dan cadangan yang mendorong
peningkatan investasi dalam negeri dan penanaman modal asing di
Indonesia.Kebijakan konservasi bahan galian tidak diarahkan semata-mata untuk
tujuan proteksi suatu bahan galian atau suatu kawasan dan juga bukan untuk
liberalisasi eksploitasi sumber daya alam.
Berbeda dengan konservasi
sumber daya hayati, KBG lebih diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya dan
cadangan secara optimal bagi kepentingan masyarakat, pencegahan penyia-nyiaan
bahan galian, teknik penambangan/pengolahan yang berwawasan lingkungan, serta pembangunan komunitas yang berkelanjutan. Dalam
implementasinya, kebijakan konservasi memerlukan strategi dasar yang berbeda
untuk kawasan Indonesia bagian barat dan timur sesuai dengan karakter
masing-masing wilayah tersebut. Untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya
Pulau Jawa dan Sumatra yang dinilai lebih maju dibandingkan dengan Kawasan
Timur Indonesia, kebijakan pemanfaatan bahan galian yang bersifat protektif
lebih diutamakan. Sedangkan bagi Kawasan Timur Indonesia (KTI), kebijakan yang
mengarah kepada peningkatan aspek ekonomi daerah dan kesejahteraan
masyarakatnya perlu diprioritaskan. Hal ini sesuai dengan pengembangan ekonomi
KTI dalam jangka pendek yang masih mengandalkan ekploitasi sumber daya
mineralnya.
Dalam pemanfaatan sumber
daya alam (termasuk mineral) yang berkelanjutan, kebijakan dan strategi
percepatan pembangunan KTI diwujudkan dalam, pertama, upaya upaya eksploitasi
sumber daya alam termasuk kelautan dan potensi keanekaragaman hayati
(biodiversity) dalam batas-batas lestari, dan kedua, upaya penganekaragaman
(diversifikasi) ekonomi baik penganekaragaman horisontal maupun vertikal.
Dalam hubungan dengan
peningkatan investasi di sektor pertambangan, kebijakan konservasi bahan galian
diharapkan dapat mendorong pemanfaatan bahan galian yang memiliki nilai tambah
dan potensi pasar yang tinggi, serta industri pertambangan yang melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Kebijakan ini menyangkut proses perijinan sejak
penyelidikan umum, eksplorasi sampai tahap eksploitasi atau produksi tambang.
Selain itu juga termasuk kebijakan yang menyangkut standarisasi pengelolaan
usaha pertambangan yang berasaskan optimalisasi bahan galian, berpihak kepada
masyarakat lokal dan berwawasan lingkungan. Peranan pengusaha swasta sangat
diperlukan untuk penerapan kebijakan ini terutama untuk pengembangan
pertambangan skala besar. Sedangkan pemerintah hanya menjalankan fungsi
administratif dan fasilitator, tanpa perlu terjun sebagai pelaku bisnis
pertambangan umum.
Dalam RUU Pertambangan Umum (versi Agustus 2002)
disebutkan bahwa dalam pengelolaan pertambangan umum, Pemerintah memiliki
kewenangan dalam pembuatan kebijakan nasional, peraturan dan standarisasi
nasional di bidang pertambangan bahan galian, termasuk kebijakan di bidang
pemasaran, pemanfaatan dan konservasi bahan galian. Selain itu Pemerintah
(Pusat dan Daerah) dapat memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau
Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) kepada Badan Usaha Milik Negara/Daerah,
perusahaan swasta maupun perorangan untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum,
eksplorasi sampai operasi produksi.
Di sisi lain pemegang IUP atau PUP memiliki
kewajiban untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan,
termasuk kegiatan reklamasi, konservasi sumber daya dan cadangan dan penanganan
limbah sampai penutupan tambang. Meskipun demikian, ketentuan-ketentuan dalam
bidang konservasi sumberdaya mineral belum diatur lebih lanjut dalam bentuk
perundang-undangan. Karena tidak adanya peraturan kebijakan tentang pengelolaan
bahan galian secara nasional menyebabkan terjadinya berbagai masalah konservasi
dalam usaha pertambangan umum.
Dalam periode 2001 – 2003, Subdirektorat
Konservasi telah menyusun beberapa konsep regulasi konservasi, yaitu: Konsep rancangan peraturan perundang-undangan
tentang konservasi bahan galian· Konsep
pedoman teknis tata cara penetapan dan pengawasan sumberdaya dan cadangan bahan
galian Konsep pedoman teknis tata cara
pengawasan recovery penambangan dalam rangka konservasi bahan galian Konsep kriteria dan tata cara penetapan bahan
galian lain dan mineral ikutan Konsep
pedoman teknis pengawasan konservasi bahan galian pada pertambangan logam
laterit.
Konsep rancangan peraturan pemerintah tentang KBG
mengatur tentang perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kaidah KBG pada usaha
pertambangan umum sejak tahap penyelidikan umum, eksplorasi, penambangan,
pengangkutan, pengolahan dan pemurnian, sampai pada tahap penutupan tambang.
Hal-hal penting yang diatur dalam regulasi KBG ini antara lain adalah sumber
daya dan cadangan, recovery penambangan, stripping ratio, cut off grade, bahan
galian kadar marginal dan kadar rendah, recovery penambangan / pengolahan /
pengangkutan, penanganan mineral ikutan dan bahan galian lain, penanganan sisa
cadangan, penanganan tailing, peningkatan nilai tambah bahan galian dan
penutupan tambang serta penataan wilayah konservasi.Pembinaan dan pengawasan
KBG dilakukan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, meliputi semua hal yang
berhubungan dengan aspek konservasi yang telah ditetapkan bagi pelaku usaha
pertambangan.
Perhitungan sumber daya dan cadangan pada umumnya
hanya mempertimbangkan aspek ekonomi perusahaan, lingkungan fisik dan kimia tanpa
mempertimbangkan aspek konservasi, dan kuantitasnya dapat berubah-ubah sesuai
dengan kondisi ekonomi dan teknologi. Oleh karenanya aspek konservasi perlu
diterapkan dalam perhitungan sumber daya dan cadangan sehingga tercapai
pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Untuk menghindari kesalahan dalam
perhitungan dan penyalahgunaan hak pemanfaatan sumber daya dan cadangan, pemerintah memandang perlu
untuk menerbitkan suatu pedoman teknis tata cara penetapan dan pengawasan
sumber daya dan cadangan bahan galian yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah
dan pelaku usaha pertambangan.
Ruang lingkup pedoman teknis ini meliputi tata
cara penetapan dan pengawasan, pelaksanaan penetapan dan pengawasan, serta
pelaporan sumber daya dan cadangan bahan galian. Tata cara penetapan sumber
daya dan cadangan bahan galian mengacu kepada standar klasifikasi sumber daya
dan cadangan mineral dan batubara (SNI), dan parameter-parameter teknis.
Parameter penetapan sumber daya meliputi variasi dimensi, variasi sebaran, dan
mutu/kadar bahan galian, serta keterdapatan bahan galian lain dan mineral
ikutan.
Selain itu parameter penting lainnya adalah
metoda estimasi sumber daya dan cadangan dan skala peta yang dipergunakan. Penetapan cadangan bahan galian, selain
menggunakan parameter tersebut diatas, juga harus memperhitungan parameter dari
berbagai aspek teknik, ekonomi, hukum dan lingkungan. Parameter aspek
keteknikan dalam perhitungan cadangan meliputi sistem penambangan, sistem
pengolahan/pemurnian, sistem pengangkutan, stripping ratio dan cut off grade.
Parameter aspek ekonomi adalah infra struktur, tenaga kerja, harga komoditas
bahan galian, jenis produk utama dan sampingan, serta nilai dan prospek bahan
galian. Parameter aspek lingkungan mencakup rencana pengelolaan lingkungan
sesuai dengan peraturan yang berlaku, diantaranya mengenai tailing atau limbah,
air keluaran tambang, reklamasi, dan lain-lain.
Pengawasan sumber daya dan cadangan dilaksanakan
oleh instansi pemberi izin sesuai dengan kewenangannya. Obyek pengawasan
meliputi peta-peta hasil eksplorasi, hasil analisa laboratorium, pengolahan
data, metoda perhitungan sumber daya/cadangan, sistem penambangan, recovery
penambangan/ pengolahan, penanganan bahan galian kadar/kualitas rendah,
penanganan sisa cadangan, penanganan tailing, dan upaya peningkatan nilai
tambah. Masalah konservasi yang berkaitan dengan penetapan cadangan dijumpai di
beberapa lokasi usaha pertambangan.
Recovery Penambangan adalah perbandingan antara
hasil penambangan menggunakan metode tertentu dengan jumlah cadangan layak
tambang berdasarkan penghitungan cadangan terbukti dan desain penambangan. Pada
usaha pertambangan umum, recovery penambangan memiliki pengaruh dalam menentukan kinerja dan
keberhasilan kegiatan penambangan. Penambangan yang efektif dan efisien
seharusnya mampu menambang cadangan layak tambang secara optimal sehingga
menunjukkan nilai recovery penambangan yang baik.Namun pada kenyataannya masih
ada usaha pertambangan yang hanya mementingkan aspek ekonomi saja tanpa
menghiraukan kaidah konservasi dalam melaksanakan kegiatan penambangannya
sehingga negara dirugikan.
Oleh karena itu, dalam rangka penerapan KBG perlu
dilakukan pemantauan dan evaluasi recovery penambangan berdasarkan pedoman
teknis pengawasan recovery penambangan. Pedoman teknis ini adalah acuan bagi
pemerintah dan pelaku usaha pertambangan dalam mengawasi optimalisasi perolehan
tambang dan mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan sistem
penambangan. Pengawasan recovery
penambangan dilaksanakan terhadap pemegang IUP, PUP dan IPR, baik secara
administrasi maupun teknik, untuk setiap periode tertentu kegiatan penambangan
yang dilakukan. Pengawasan administratif dilakukan dengan menelaah, melakukan
perhitungan dan mengevaluasi laporan perusahaan tambang yang berkaitan dengan
perizinan, studi kelayakan (penetapan recovery penambangan), rencana kerja dan
biaya dan hasil kegiatan perusahaan serta produksi tambang. Sedangkan
pengawasan teknis dilakukan dengan cara pengecekan, pengukuran, korelasi data,
pengambilan conto, analisis contoh di lapangan atas data kegiatan teknis pertambangan.
Pemeriksaan teknis secara langsung di wilayah usaha pertambangan dilakukan
terhadap beberapa hal penting diantaranya:
keadaan bahan galian (bentuk, sebaran, kadar/kualitas) cadangan layak tambang (batas, geometri,
kadar/kualitas) desain penambangan, pada
tambang terbuka meliputi tata letak bukaan tambang, batas bukaan tambang, pit
slope, rencana pengupasan tanah pucuk (top soil) dan lapisan/tanah penutup
(overburden), penambangan bahan galian,
jalan tambang, waste disposal area, tempat pengolahan, tempat penimbunan
bahan galian, tailing pond dan jadual penambangan desain penambangan, pada tambang bawah tanah
meliputi lorong tambang, sistem ventilasi, batas cadangan yang akan ditambang,
panel, stope, pillar, ore pass, dll jumlah, kapasitas dan cara kerja peralatan
penambangan termasuk peralatan pengupasan, pembongkaran, penggalian, pemuatan
dan pengangkutan target dan realisasi
produksi (tahunan, triwulan, bulanan dan mingguan) realisasi recovery penambangan penanganan produk sampingan (by product),
bahan galian lain, mineral ikutan, bahan galian tertinggal, bahan galian kadar
marginal dan kadar rendah (jika diperlukan)
pemercontoan produk utama, produk sampingan, bahan galian lain, mineral ikutan
dan bahan galian tertinggal penanganan
cadangan yang belum ditambang dan sisa cadangan pada saat sebagian atau seluruh
blok penambangan diakhiri, dan
kompetensi dan kualifikasi tenaga pelaksana penambangan.
Pengawasan recovery penambangan dilaksanakan
secara berkala, sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun dan sewaktu-waktu
apabila diperlukan. Dalam pelaporannya, hasil pengawasan disusun sesuai dengan
materi yang diawasi disertai penjelasannya, dengan mengisi format pengawasan
yang telah ditentukan. Pengawas dapat memberikan rekomendasi berdasarkan
evaluasi hasil pengawasan untuk mencapai recovery penambangan optimal. Laporan
hasil pengawasan ini disampaikan kepada pemberi ijin usaha pertambangan,
instansi yang berwenang dan pemegang ijin usaha pertambangan paling lambat 2
minggu setelah pengawasan selesai.
Dalam pelaksanaan penambangan yang memenuhi
kaidah KBG, diperlukan suatu ukuran dan parameter yang dapat dipakai sebagai
standar untuk melakukan penilaian dan penetapan suatu bahan galian dan mineral
tertentu. Selain itu juga diperlukan suatu prosedur atau mekanisme dalam
menetapkan secara teknis suatu bahan galian lain dan mineral ikutan. Kebutuhan
ini dirasakan sangat penting mengingat belum adanya regulasi yang mengatur
secara khusus mengenai penanganan bahan galian lain dan mineral ikutan. Bahan
Galian Lain dalam hal ini adalah endapan bahan galian yang berada di wilayah
izin usaha pertambangan namun tidak
termasuk bahan galian yang diusahakan, sedangkan Mineral Ikutan didefinisikan sebagai
mineral/unsur selain mineral/unsur utama yang diusahakan, menurut genesanya
terjadi secara bersama-sama dengan mineral utama.
Dalam rancangan peraturan tentang konservasi
bahan galian, disebutkan bahwa pada pelaksanaan penambangan, apabila terdapat
bahan galian lain dan mineral ikutan yang tergali atau terganggu keberadaannya,
harus diupayakan untuk ditempatkan di suatu lokasi dan ditangani dengan baik.
Pada saat yang tepat bahan galian dan mineral ikutan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat atau, jika telah memiliki nilai
ekonomis, dapat diusahakan untuk
dipasarkan.Kegiatan usaha pertambangan bahan galian mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.
Di beberapa tempat kegiatan penambangan umumnya
hanya menambang dan mengolah komoditas mineral utama dan tidak memanfaatkan
bahan galian lain dan mineral ikutan sehingga tidak memperoleh nilai tambah
dari bahan galian lain atau mineral ikutan yang ada pada suatu wilayah usaha
pertambangan. Dalam upaya optimalisasi pemanfaatan bahan galian dan pengawasan
kegiatan usaha pertambangan diperlukan adanya kriteria dan tata cara
penetapan Bahan Galian Lain dan Mineral
Ikutan. Kriteria dan tata cara penetapan bahan galian lain dan mineral ikutan
ini dimaksudkan sebagai acuan bagi pemerintah dan pelaku kegiatan usaha
pertambangan untuk menetapkan dan menilai secara obyektif bahan galian lain dan
mineral ikutan yang ada dalam wilayah usaha pertambangan.
Penyusunan kriteria dan tata cara penetapan
ini bertujuan untuk merumuskan sebagian
kebijakan regulasi di bidang konservasi bahan galian sehingga pemerintah dan
pelaku usaha pertambangan dapat mengelola bahan galian secara bijaksana dan
berkelanjutan. Kriteria dan tata cara penetapan ini meliputi kriteria umum dan
tata cara teknis penetapan bahan galian lain dan mineral ikutan pada izin usaha
pertambangan mineral logam, non logam dan batubara, baik pada tahap eksplorasi
maupun produksi.Kriteria untuk mengelompokkan suatu bahan galian sebagai Bahan
Galian Lain didasarkan pada faktor
perizinan, geologi endapan bahan galian dan teknologi/pengusahaan (ekonomi).
Bahan galian yang memenuhi kriteria bahan galian lain, minimal kelas hipotetik
dilaporkan oleh pemegang izin usaha pertambangan kepada pihak pemberi izin
usaha pertambangan. Bahan galian yang diusahakan dan bahan galian lain yang
ditemukan atau dihasilkan dari kegiatan ekplorasi atau eksploitasi harus
dijelaskan dalam laporan eksplorasi atau eksploitasi oleh pemegang izin usaha
pertambangan .Penetapan teknis bahan galian lain dilakukan dengan mengacu pada
kriteria dan tata cara teknis penetapan yang meliputi penilaian dan evaluasi
terhadap faktor-faktor kelas sumber daya, geologi, konservasi, teknologi dan
pengusahaan.
Berdasarkan penilaian dan evaluasi tersebut,
bahan galian lain dapat digolongkan menjadi 3 tipe. Tipe 1:
Bahan galian lain berpotensi pengusahaan, yaitu kelompok bahan galian yang
memiliki potensi tinggi untuk diusahakan;
Tipe 2: Bahan galian lain berpotensi pengembangan, yaitu kelompok bahan
galian yang memiliki potensi sedang/menengah dan memiliki kemungkinan untuk
dikembangkan sebagai komoditas usaha pertambangan; Tipe 3: Bahan galian lain berpotensi sumber
daya, yaitu kelompok bahan galian yang memiliki potensi rendah dan belum dapat
dikembangkan sebagai komoditas usaha pertambangan.
Kriteria untuk mengelompokkan suatu mineral
ikutan didasarkan pada faktor geologi mineral ikutan, konservasi bahan galian
(optimalisasi manfaat) dan teknologi atau pengusahaan (ekonomi). Mineral yang
memenuhi kriteria mineral ikutan dilaporkan oleh pemegang izin usaha
pertambangan kepada pihak pemberi izin usaha pertambangan untuk ditetapkan
sebagai mineral ikutan. Mineral utama dan mineral ikutan yang ditemukan atau
dihasilkan dari kegiatan ekplorasi atau eksploitasi harus dijelaskan dalam
laporan eksplorasi atau eksploitasi oleh pemegang izin usaha pertambangan
(Sesuai dengan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Bahan Galian). Penetapan mineral ikutan dilakukan dengan mengacu
pada kriteria dan tata cara teknis penetapan mineral ikutan, yang meliputi penilaian
dan evaluasi terhadap faktor-faktor kelas sumber daya, geologi, konservasi,
teknologi dan pengusahaan (ekonomi).
Berdasarkan penilaian kategori teknologi terhadap
kelompok mineral ikutan 1 sampai 4, maka mineral ikutan dapat digolongkan
menjadi 3 tipe: Tipe 1: Mineral ikutan
berpotensi pengusahaan, yaitu kelompok mineral ikutan yang memiliki potensi
tinggi untuk diusahakan; Tipe 2: Mineral
ikutan berpotensi pengembangan, yaitu kelompok mineral ikutan yang memiliki
potensi sedang/menengah dan memiliki kemungkinan untuk dikembangkan sebagai
komoditas usaha pertambangan; Tipe 3:
Mineral ikutan berpotensi sumberdaya, yaitu kelompok mineral ikutan yang
memiliki potensi rendah dan belum dapat dikembangkan sebagai komoditas usaha
pertambangan.
Pada saat ini penambangan laterit kurang
memperhatikan manfaat mineral ikutan, bahan galian lain dan bijih (nikel atau
bauksit) berkadar marginal atau rendah. Tanah penutup sering dibuang begitu
saja meskipun masih mengandung bahan logam berharga seperti kromit, kobal,
titan, dan lainnya. Lapisan limonit yang memiliki kadar nikel rendah, misalnya,
sering tidak diolah dan hanya dianggap waste
materials. Selain itu tailing hasil pengolahan bijih nikel atau bauksit
masih dapat dimanfaatkan ulang (reuse/recycle). Ditambah lagi penambangan logam
laterit selalu mengakibatkan perubahan rona awal permukaaan bumi yang luas
sehingga dampak lingkungannya sangat besar. Oleh karena itu pengawasan
penambangan logam tipe laterit perlu dilakukan secara cermat dengan berpegang
pada suatu pedoman teknis.Pengawasan teknis secara langsung dilakukan dengan
cara pengecekan, pengukuran, korelasi data, pengambilan conto, analisis conto
dan jika diperlukan due diligence di lapangan atas data dan kegiatan teknis
pertambangan.
2.6
Kondisi
Pengelolaan pertambangan yang Diharapkan Serta Upaya Untuk Mencapainya
Pengelolaan
pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non
teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik
terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan.
Pengelolaan pertambangan sering hanya dilakukan pada saat penambangan saja. Hal
ini dapat dimengerti, karena pada tahap inilah dinilai paling banyak atau
sering menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar.
Persepsi yang demikian kurang tepat. Pengelolaan pertambangan sebaiknya
dilakukan sejak awal hingga akhir tahapan seperti tersebut di atas. Bahkan
untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan, maka sebelum suatu deposit bahan
tambang ditambang, perlu dilakukan kajian terlebih dahulu apakah deposit
tersebut layak untuk ditambang ditinjau dari berbagai aspek.
Tata cara pengawasan teknis di lapangan menyangkut
pemeriksaan terhadap hal berikut ini:
Tahap Eksplorasi:
· Metoda eksplorasi dan
estimasi sumber daya laterit dan mineral ikutannya;
· Profil laterit hasil
pemboran dan sumur uji, kadar bijih laterit dan mineral ikutannya pada lapisan
laterit;
· Penentuan cut off grade
untuk high grade saprolitic ore dan low grade saprolitic ore.
Tahap Penambangan:
· Rencana dan desain
penambangan,
· Jumlah, kapasitas dan
peralatan penambangano target dan
realisasi produksi.
· Realisasi recovery penambangan.
· Data dan cara penanganan bahan galian lain, bahan
galian tertinggal, limonit kadar tinggi dan kadar rendah
· Jika diperlukan,
pemercontoan terhadap produk sampingan, bahan galian lain, mineral ikutan dan
bahan galian tertinggal.
· Data dan cara penanganan cadangan yang belum
ditambang dan cadangan tersisa
· Kompetensi dan
kualifikasi tenaga pelaksana penambangan.
Tahap Pengolahan dan
Pemurnian:
· Metoda dan proses
pengolahan jumlah, kapasitas dan cara kerja peralatan pengolahan dan pemurnian.
· Target dan realisasi produksi realisasi recovery pengolahan.
· Data dan cara penanganan
slago data dan cara penanganan
bahan-bahan pencampur (batubara, antrasit, batugamping).
· Jika diperlukan, pemercontoan terhadap produk
utama (misalnya feronikel).
· Data dan cara penanganan cadangan (stock pile)
yang belum diolah.
· Upaya peningkatan nilai
tambah, termasuk pemanfaatan mineral ikutan atau produk sampingan (jika ada).
· Kompetensi dan kualifikasi tenaga pelaksana
pengolahan dan pemurnian.
2.7
Dampak
Dari Kegiatan Usaha Penambangan
Penambangan yang tidak
memperhatikan aspek lingkungan akan menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya
dengan bahaya erosi dan tanah longsor karena hilangnya vegetasi penutup tanah.
Lahan yang digunakan untuk pertambangan tidak seluruhnya digunakan untuk operasi
pertambangan secara serentak, tetapi secara bertahap. Sebagian besar tanah yang
terletak dalam kawasan pertambangan menjadi lahan yang tidak produktif.
Sebagian dari lahan yang telah dikerjakan oleh pertambangan tetapi belum
direklamasi juga merupakan lahan tidak produktif. Lahan bekas kegiatan
pertambangan menunggu pelaksanaan reklamasi pada tahap akhir penutupan tambang.
Kalau lahan yang telah selesai digunakan secara bertahap direklamasi, maka
lahan tersebut dapat menjadi lahan produktif.
Pertambangan dapat
menciptakan kerusakan lingkungan yang serius dalam suatu kawasan/wilayah.
Potensi kerusakan tergantung pada berbagai faktor kegiatan pertambangan dan
faktor keadaan lingkungan. Faktor kegiatan pertambangan antara lain pada teknik
pertambangan, pengolahan dan lain sebagainya. Sedangkan faktor lingkungan
antara lain faktor geografis dan morfologis, fauna dan flora, hidrologis dan
lain-lain.
Kegiatan pertambangan
mengakibatkan berbagai perubahan lingkungan, antara lain perubahan bentang
alam, perubahan habitat flora dan fauna, perubahan struktur tanah, perubahan
pola aliran air permukaan dan air tanah dan sebagainya. Perubahan-perubahan
tersebut menimbulkan dampak dengan intensitas dan sifat yang bervariasi. Selain
perubahan pada lingkungan fisik, pertambangan juga mengakibatkan perubahan
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.
Dampak kegiatan
pertambangan terhadap lingkungan tidak hanya bersumber dari pembuangan limbah,
tetapi juga karena perubahan terhadap komponen lingkungan yang berubah atau
meniadakan fungsi-fungsi lingkungan. Semakin besar skala kegiatan pertambangan,
makin besar pula areal dampak yang ditimbulkan. Perubahan lingkungan akibat
kegiatan pertambangan dapat bersifat permanen, atau tidak dapat dikembalikan
kepada keadaan semula. Perubahan topografi tanah, termasuk karena mengubah
aliran sungai, bentuk danau atau bukit selama masa pertambangan, sulit
dikembalikan kepada keadaannya semula. Kegiatan pertambangan juga mengakibatkan
perubahan pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perubahan tata
guna tanah, perubahan kepemilikan tanah, masuknya pekerja, dan lain-lain.
Pengelolaan dampak pertambangan terhadap lingkungan bukan untuk kepentingan
lingkungan itu sendiri tetapi juga untuk kepentingan manusia.
Keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan dampak pertambangan terhadap lingkungan sangat penting.
Keterlibatan masyarakat sebaiknya berawalsejak dilakukan perencanaan ruang dan
proses penetapan wilayah untuk pertambangan. Masyarakat setempat dilibatkan
dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan usaha pertambangan serta upaya
penanggulangan dampak yang merugikan maupun upaya peningkatan dampak yang
menguntungkan. Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan
pelaksanaan keterlibatan masyarakat.
Untuk menghindari atau menekan sekecil
mungkin dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka
hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah:
- Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada
daerah resapan atau pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu
kelestarian air tanah di daerah sekitarnya.
- Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari
pemukiman penduduk sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat
kegiatan penambangan tidak akan mengganggu penduduk.
- Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air
penting sehingga tidak akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari
mata air tersebut, juga untuk menghindari hilangnya mata air.
- Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada
daerah aliran sungai bagian hulu (terutama tambang batuan) untuk
menghindari terjadinya pelumpuran sungai yang dampaknya bisa sampai ke
daerah hilir yang akhirnya dapat menyebabkan banjir akibat pendangkalan
sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan terutama di kota-kota besar
dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di wilayah kota besar
tersebut.
- Lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung
(cagar alam, taman nasional, dsb.).
- Lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen
untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual
material tidak menjadi mahal.
- Lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan
bangunan infrastruktur penting, misalnya jembatan dan menara listrik
tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin letaknya tidak dekat dengan gedung
sekolah sehingga tidak akan mengganggu proses belajar dan mengajar.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Tujuan dari Kegiatan Pertambangan yang
Berkelanjutan adalah untuk menciptakan keuntungan jangka panjang bagi semua
pemangku kepentingan dan mencoba mendapatkan dukungan, kerja sama, dan
kepercayaan dari masyarakat di sekitar daerah pertambangan. Lalu, yang
diperlukan dalam Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan adalah komitmen
perusahaan terhadap nilai-nilai berkelanjutan. Selain itu, struktur organisasi
sistem manajemen yang memadai juga diperlukan. Strategi dasar
itu akan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi alam
dan jenis komoditi yang ditambang serta sosial budaya masyarakat setempat. Bila
WPR tersebut difokuskan pada eksploitasi komoditi tambang primer (seperti emas
primer), maka diperlukan modifikasi dalam teknik penggalian dan ekstraksi serta
pengelolaan limbahnya, namun
secara prinsip semuanya menuju kepada konsep good mining
practice dalam skala pertambangan rakyat. Modifikasi ini juga perlu
mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat agar tidak berbenturan dengan
sistem nilai yang mereka anut, karena bila hal itu terjadi maka mekanisme
pengelolaan tersebut akan menghadapi hambatan pada tataran implementasinya.
Strategi ini diharapkan akan dapat menjadi solusi bagi pemerintah dalam
merespon kegiatan masyarakat yang menambang secara efektif dan terencana.
Dengan demikian, pemerintah daerah dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam
pengelolaan PR dan tidak mengambil kebijakan
“pembiaran” seperti yang
masih berlangsung hingga saat
ini. Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan juga memiliki konsep yang mengacu
pada pendekatan manajemen yang efisien serta mengintegrasi isu-isu ekonomi,
lingkungan dan sosial. Dan Kegiatan Pertambangan yang Berkelanjutan juga sudah
mulai berkembang di Indonesia.
Kebijakan konservasi bahan
galian merupakan salah satu landasan dalam pengelolaan sumber daya mineral
untuk mewujudkan tercapainya pemanfaatan
bahan galian baik jangka
pendek maupun jangka panjang untuk kepentingan nasional dengan memperhatikan
berbagai kepentingan sektor di luar pertambangan. Sebagai bahan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan konservasi perlu dilakukan kajian pemanfaatan dan
potensi sumber daya dan cadangan bahan galian, terutama penilaian (assessment) secara kuantitatif berbagai jenis komoditas dan tipe endapan
bahan galian.
3.2
Saran
Dari kesimpulan
di atas perlu dikemukakan beberapa saran yang berkaitan dengan pengelolaan
penambangan pasir ini, yaitu :
1.
Membentuk
lembaga khusus yang menangani pengelolaan kegiatan penambangan.
2.
Penyusunan
zonasi pertambangan yang memuat lokasi-lokasi yang dicadangkan untuk
penambangan berdasarkan keberadaan deposit bahan tambang dan pertimbangan
ekologis
3.
Dugaan
adanya laju erosi yang tinggi di lokasi penambangan pasir harus diperhatikan
dan segera dilakukan tindakan pengendalian erosi sehingga kerusakan lingkungan
yang terjadi tidak semakin meluas dan parah.
4.
Penggantian
iuran reklamasi dalam bentuk jaminan reklamasi untuk penambang besar sehingga
mereka mempunyai rasa tanggung jawab untuk melaksanakan penataan lahan pasca
penambangan.
5.
Pemberdayaan
ekonomi masyarakat berdasarkan potensi lokal, sehingga ketergantungan terhadap
sumber bahan tambang menjadi berkurang.
DAFTAR
PUSTAKA
Arsyad,
S .1989.Konservasi Tanah dan Air . IPB Bogor.
www.academia.edu/2073326/Strategi_Pengembangan_Wilayah_Pertambangan
_Rakyat_di_Bombana_Sulawesi_Tenggara
Mantra,Ida
Bagus. 2004. Demografi Umum, Edisi 3. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Morgan, R.P.C.
1988. Soil Erosion and Conservation. Longman Group.Hongkong.
Rahim, F.1995. Sistem dan Alat
Tambang. Akademi Teknik Pertambangan Nasional Banjarbaru.
Soemarwoto,Otto.
2003. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Suripin. 2002.Pelestarian
Sumber daya Tanah dan Air. Gadjah Mada.Yogyakarta.
Yakin,Addinul.2004.Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan. Akademika Presindo.Jakarta.
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar